Wednesday, February 20, 2019

Computer

Computers are tools used to process data according to procedures that have been formulated. The original computer word is used to describe the person whose work is doing arithmetic calculations, with or without tools, but the meaning of this word is then transferred to the machine itself. Its origin, processing almost exclusive information is related to arithmetic problems, but modern computers are used for many tasks not related to mathematics.

In such a meaning there are tools such as slide rules, types of mechanical calculators ranging from abacus and so on, to all contemporary electronic computers. Better terms suitable for broad meanings such as "computers" are "information processing" or "information processing systems." Over the years there have been several different meanings in the word "computer", and several different words are now referred to as computers.

The word computer has generally been used to define people who carry out arithmetic calculations, with or without auxiliary machines. According to Barnhart Concise Dictionary of Etymology, the word was used in English in 1646 as the word for "calculating person" then before 1897 it was also used as a "mechanical calculating device". During World War II the word referred to US and British female workers whose work counted war artillery roads with calculating machines.

Jewish

Nearly 5.5 billion people on this earth are among about 18,000,000, less than a third of the earth's population is classified as Jewish. Statistically, they can hardly be heard, just like the Ainu people tucked in the corner of Asia by historical observers. Jews sound totally disproportionate in their small numbers. In fact, their contribution to the row of big names in the world in religion, science, literature, music, finance, and philosophy is very surprising.

The period of the greatness of Ancient Greece lasted 500 years. Then, the nation fell into a group of shepherds and never regained its glory. Not so with the Jews. Their creative period extends through the entire history of those who are 4,000 years old. Their contributions have been absorbed by both the West and the East, even though they do not always realize it or are willing to admit it as debt.

From this nation, came Paul, the organizer of the Christian Church. This nation's religion influenced Islam and other religious organizations which more than 400,000,000 adherents claimed to be descendants of Abraham and Ismail. Mormons, for example, say that they are descended from Israeli tribes. 

Jewish figures are respected by more than one billion people. He was Karl Marx whose book, Das Capital, became a secular gospel for Communists throughout the world, and the name "Marx" was enshrined in Russia and China. Albert Einstein, a Jewish mathematician, who delivered the world in the atomic age and paved the way for theoretical physics. A Jewish psychiatrist, Sigmund Freud, opened the "valve of the mind" of humans. His psychoanalysis revolutionized the concept of man and the relation of thought to matter.  One hundred years earlier, a Jewish philosopher, Baruch Spinoza, freed philosophy from mysticism and paved the way to racialism and modern science.

For centuries, successive Jews introduced the concept of prayer, church, redemption, universal education, pious charity. They did it hundreds of years before the world was ready to receive it. However, until 1948, to close 3,000 years, Jews did not even have their own country. They lived among the Babylonians, lived in the Hellenic world, stood in the land of the Roman Empire, flourished in the civilization of Muhammad, emerged from 1,200 years of darkness known as the Middle Ages, and rose to a new intellectual level in modern times.

The great pagans who came together with the birth of the Jewish nation were truly gone. The Babylonians, Persians, Phoenicians, Hittites, and Philistines had vanished from the face of the earth after once incarnating great and great power. The Chinese, Hindus and Egyptians are as old as the Jews who are still alive today. However, these three civilizations have only one major cultural period, their impact on successful civilizations is not yet great. They do not have seeds for their country and also do not face the problem of surviving on foreign land. The Greeks and Romans were other nations that influenced Western history as much as the Jews. However, people who now live in Greece and Italy are not the same as their predecessors who lived in Hellas and Ancient Rome.

Thus, there are three elements in the survival of Jews that make this history different from those of other nations. They have a life history that has continued to flow for 4,000 years and has become an intellectual and spiritual force for 3,000 years. They survive 3,000 years without their own country, but still maintain their ethnic identity among foreign cultures. They have expressed ideas not only in their own language, but in almost all the major languages of the world.

Few people know about Jewish works in every area of human thought. The reason for this is not hard to find. To read literature in French, German or English, people only need to know French, German, or English. However, to read Jewish literature and science, people not only had to know Hebrew and Yiddish, but also Aramaic, Arabic, Latin, Greek, and almost every modern European language.

Thursday, February 14, 2019

Teori Politik

Teori merupakan generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Teori selalu menggunakan konsep-konsep dalam menyusun generalisasi. Konsep lahir dalam pikiran manusia dan oleh karenanya bersifat abstrak, meskipun fakta dapat digunakan sebagai batu loncatan.

Konsep merupakan unsur penting dalam upaya memahami dunia sekeliling. Memahami atau mengerti hanya dapat dicapai melalui pikiran. Konsep merupakan konstruksi mental, suatu ide yang abstrak, yang menunjuk pada beberapa fenomena atau karakteristik dengan sifat yang spesifik yang dimiliki oleh fenomena tersebut. Jadi, konsep merupakan abstraksi dari persepsi-persepsi terkait realitas, atas dasar konsep atau seperangkat konsep dapat disusun atau dirumuskan generalisasi. Biasanya konsep dirumuskan dalam satu atau dua kata.

Generalisasi merupakan proses melalui mana suatu observasi mengenai satu fenomena tertentu mengalami perkembangan menjadi suatu observasi mengenai lebih dari satu fenomena. Melalui konsep, generalisasi melihat hubungan-hubungan sebab akibat antara beberapa fenomena atau pada cara yang paling efektif untuk mencapai suatu tujuan. Apabila kita menyebut sesuatu typical, maka kita membuat generalisasi. Generalisasi yang tertinggi atau yang paling sophisticated derajat generalisasinya disebut teori.

Teori politik merupakan bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan kata lain, teori politik merupakan bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik, cara-cara mencapai tujuan tersebut, beberapa kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, dan kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik terdiri dari: masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi, dan lain sebagainya.

Menurut Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory, ada 2 macam teori politik, meskipun perbedaan antara kedua kelompok teori tersebut tidak bersifat mutlak.
A. Teori-teori yang memiliki dasar moral atau bersifat akhlak dan yang menentukan norma-norma untuk perilaku politik (norms for political behavior). Dengan adanya unsur norma-norma dan nilai-nilai (values) ini maka teori-teori tersebut dapat dinamakan yang mengandung nilai (valuational). Termasuk golongan ini adalah filsafat politik, teori politik sistematis, ideologi, dan sebagainya.

B. Teori-teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai-nilai. Teori-teori ini dapat dinamakan non-valutional (value-free), biasanya bersifat deskriptif dan komparatif. Teori ini berusaha untuk membahas berbagai fakta kehidupan politik sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi.

Teori-teori politik yang memiliki dasar moral fungsinya terutama untuk menentukan pedoman dan patokan moral yang sesuai dengan akhlak. Teori-teori semacam ini mencoba mengatur hubungan dan interaksi antara anggota masyarakat sehingga di satu pihak memberi kepuasan perorangan, dan di pihak lain dapat membimbing menuju ke suatu struktur masyarakat politik yang stabil dan dinamis. Atas dasar itu, maka teori politik menetapkan suatu kode etik atau tata cara yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan politik. Teori-teori yang termasuk dalam kelompok A dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni filsafat politik, teori polititik sistematis, dan ideologi politik.


Daftar Pustaka

Thomas P. Jenkin, The Study of Political Theory (New York: Random House Inc., 1967), hlm.1-5

Sunday, February 3, 2019

Keterlibatan Gereja Sebagai Institusi

Gereja sebagai institusi tentu mencakup struktur dan keanggotaan yang melingkupi seluruh yang tergabung di dalamnya. Seperti ungkapan teolog von Balthasar, yang menjadi pertanyaannya bukan menyangkut "apa" tetapi "siapa" itu Gereja? Gereja memiliki pemahaman diri sebagai "umat Allah". Artinya, Gereja merupakan kumpulan orang-orang percaya akan Allah yakni Allah yang secara nyata menyatakan penyelamatan-Nya dalam Yesus Kristus.Di sana terdapat aspek institusional atau dalam istilah sosial disebut juga sebagai "subjek historis". Dalam pengertian tersebut berbicara tentang Gereja sebagai institusi tanpa mereduksi seluruh jati diri Gereja yang sekaligus melampaui institusinya (bahasa teologis: misteri) yaitu aspek kehadiran Ilahi di dalamnya.

Sebagai institusi, Gereja menemukan diri berada dalam dunia. Ia mengemban tugas yang mengalir dari imannya untuk mengabarkan kabar sukacita (Injil) kepada semua manusia. Gereja sebagai institusi menyadari identitasnya secara perlahan dan semakin jelas terlihat dalam sejarah keterlibatannya dalam dunia politik. Kematangan pemahaman diri dalam hubungan atau relasi dengan dunia sosial politik ditegaskan seperti misalnya pada Konsili Vatikan II. Di sana ditegaskan bahwa misi utama yang diberikan Yesus Kristus kepada Gereja bukanlah dalam tatanan sosial, politik, atau ekonomi. Misi Gereja pada hakikatnya adalah pada tatanan rohani. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa Gereja acuh terhadap masalah sosial politik, tetapi menunjuk pada perspektif dasar Gereja yang bersifat rohani. Misi tersebut berupa penginjilan bagi pelayanan umat manusia.

Dalam praktiknya, penginjilan, evangelisasi, atau pewartaan tersebut akhirnya terwujud dalam "pelayanan kasih". Gereja menjadi bentuk pelayanan kasih kepada manusia. Tak mengherankan apabila Paus Paulus VI memberi penegasan bahwa praktik pelayanan kasih dalam keterlibatan dalam sosial politik menjadi aspek mendasar misi Gereja. Sadar akan identitas diri dan panggilannya, Gereja memahami bahwa medan politik bukanlah suatu wilayah yang berada di luar kehidupannya. Gereja selalu berada dalam dunia, dalam relasinya dengan manusia lainnya. Maka dari itu, kehidupan sosial politik adalah suatu dimensi mendasar dari Gereja yang hadir di dunia secara historis.

Gereja dalam sejarah pemahaman diri tersebut semakin menyadari bahwa misinya dalam masyarakat bukanlah untuk melayani dirinya sendiri. Gereja tidak hadir dalam dunia untuk melayani dirinya sendiri yang tertuju pada kepentingannya sendiri. Kehadiran Gereja dalam masyarakat mengemban tujuan dasar kasih yang terarah pada manusia dan di luar dirinya. Oleh karena itu, keterlibatannya dalam situasi sosial politik bukanlah untuk mempromosikan dirinya atau merebut kekusaan bagi kelompoknya tetapi tertuju pada pelayanan kasih.

Salah satu perkembangan penting dalam refleksi keterkaitan antara Gereja dan politik terungkap dala Konsili Vatikan II, khusunya dalam dokumennya Gaudium et Spes yang baru saja disinggung. Di sana dipaparkan refleksi tentang martabat manusia dan pentingnya keterlibatan politik. Para uskup dari seluruh dunia, dalam dokumen tersebut, berusaha menempatkan Gereja dalam dunia pada zamannya. Tugas Gereja dalam lingkup tersebut adalah mempertahankan martabat manusia serta menolak rezim politik yang membelenggu kebebasan sipil ataupun kebebasan dalam beragama. Dokumen resmi tersebut membeberkan pula secara mendalam hakikat dan tujuan politik yang berpusat pada "kebaikan umum" dalam konteks suatu masyarakat yang plural.

Gereja secara institusional melalui hierarki dan kaum religius terlibat dalam kehidupan sosial politik atas motivasi dan tujuan yang berbeda dengan keterlibatan tokoh politik atau partai politik. Keterlibatannya dilakukan secara tidak langsung dan lebih termotivasi oleh visi moral dan spiritual tentang manusia. Dalam visi tersebut, manusia dipahami secara utuh, baik dalam dimensi pribadi maupun dimensi sosial. Melalui keterlibatannya, Gereja memberikan kriteria penilaian, menyodorkan nilai-nilai mendasar dan visi tentang manusia. Semua dilakukan dalam rangka membangun masyarakat manusia dan kebaikan bersama.

Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa sebagai individu, imam atau pemimpin-pemimpin hierarkis Gereja memiliki hak untuk memilih dan hak untuk mempunyai pandangan pribadi terhadap masalah politik di tempat ia berada. Namun, sebagai public figur yang mewakili Gereja sebagai institusi, pemimpin Gereja memiliki kewajiban secara moral melepaskan hak sipil tersebut demi pelayanan Injil. Ia mewakili Gereja institusional yang tidak dapat mereduksi diri sebagai wakil dari salah satu ideologi atau partai politik. Paus Benediktus XVI melanjutkan pemikiran tersebut dengan menegaskan bahwa pemimpin Gereja dan Gereja sebagai institusi tidak dapat dan tidak boleh mengambil alih perjuangan politik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil. Ia tidak dapat mengambil alih tugas negara. Namun? Gereja dan para pemimpinnya juga tidak dapat berdiam diri menjadi penonton dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan. Gereja perlu terliba dalam perdebatan publik dan mendorong ke arah tumbuhnya kekuatan-kekuatan rohani yang melandasi pembangunan suatu masyarakat yang adil.


Daftar Pustaka

- Bdk. Diuseppe Colombo, "Missione e figura della chiesa nella società politica," dalam AA.VV., La responsabilità politica della chiesa (Milano: Glossa, 1994), 70-71.
- Bdk. Konsili Vatikan II, GS, no. 42.
- Seruan Apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiande , 1975, no 29-34.
- Bdk. Konsili Vatikan II, GS, no. 73-74.
- Bdk Giovanni Paolo II, Enciclica Centesimus Annus, 5 : AAS 83 (1991) 799.
- Bdk. Ensiklik Deus Caritas Est, no.28.
- Bdk. "II presbito e la società civile" dalam L'Osservatore Romano (29 luglio), 1993.

ENGLISH PHRASES

YOUTUBE   ENGLISH PHRASES  no one said it was to be going easy.  tidak ada yang mengatakan itu akan berjalan mudah.  that wasn't the re...