Thursday, January 31, 2019

Perkembangan Demokrasi di Pakistan

Saat lahir pada tahun 1947, Pakistan terdiri dari dua negara bagian, yakni Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang satu sama lain saling terikat karena adanya persamaan agama yakni Islam.Namun, kedua negara bagian tersebut terpisah secara geografis oleh wilayah India sepanjang 1.600 km. Tak hanya itu, tetapi juga karena berbeda dalam hal kebudayaan, bahasa, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Pakistan Timur dalam bahasa dan kebudayaannya lebih berorientasi kepada Bengal sedangkan Pakistan Barat kepada Punjab. Pakistan Timur lenih banyak penduduknya tetapi mayoritas adalah pegawai negeri. Sementara itu, banyak perwira Angkatan Darat berasal dari Pakistan Barat. Selain itu, Pakistan Barat lebih memiliki kemajuan ekonomi yang lebih pesat yang kemudian memyebabkan Pakistan Timur merasa dianaktirikan di berbagai bidang.

Tak lama setelah kemerdekaan tercapai, pelopor kemerdekaan Mohammad Ali Jinnah wafat dan kematiannya pada tahin 1951 disusul dengan terbunuhnya Liaquat Ali Khan. Wafatnya kedua pemimpin ini sangat memberi pengaruh terhadap perkembangan politik selanjutnya, karena para pemimpin lainnya dinilai tidak memiliki kewibawaan pada tingkat nasional. Selain itu, partai politik partai politik yang pada masa pra kemerdekaan telah memelopori berdirinya Pakistan sebagai negara terpisah dari India, Muslim League, kehilangan popularitas, terutama di bagian timur. Dengan demikian Pakistan mengalami krisis kepempinan dan juga instabilitas politik.

Dalam hal ini terasa waktu menghadapi masalah dalam penyusunan undang-undang dasar baru. Baru pada tahun 1956, setelah konstituante yang dilantik pada tahun 1947 dibubarkan dan diganti dengan konstituante baru, suatu undang-undang dasar baru dapat diterima dengan baik. Namun, hal ini tak dapat mengakhiri instanilitas politik, sehingga pada tahun 1958 tentara turun tangan dengan membatalkan UUD 1956 yang berdasarkan sistem parlementer dan membubarkan kabinet, DPR baik di pusat maupun di kedua propinsi, serta partai-partai politik. Jenderal Ayub Khan mengambil alih pimpinan negara sebagai presiden revolusioner dengan suatu kabinet presidensial. Pada tahun 1960 diadakan referendum, Ayub Khan dipilih sebagai presiden dan mendapat tugas untuk menyusun undang-undang dasar baru.

Presiden Ayub Khan memiliki pendapat bahwa sistem parlementer kurang sesuai untuk Pakistan yang 80 persen rakyatnya masih buta huruf. Ia juga mengecam sistem parlementer karena telah memperkaya diri dan memeras rakyat. Oleh karena itu, Ia menganggap bahwa perlu adanya perombakan struktur dan mengganti dengan sistem yang memenuhi beberapa syarat.

Syarat yang pertama adalah mudah dimengerti oleh rakyat buta huruf dan hidup di daerah pedesaan. Kedua, memberi kesempatan kepada seluruh lapisan rakyat untuk secara aktif turut memikirkan dan memutuskan masalah sosial dan politik yang menyangkut daerahnya sendiri dalam batas kemampuannya. Ketiga, menyusun pemerintahan yang kokoh yang tidak diombang-ambingkan oleh DPR.

Gagasan Ayub Khan kemudian dituang dalam suatu undang-undang dasar yang mulai berlaku pada bulan Juni 1962 yang kemudian dinamakan Demokrasi Dasar (Basic Democracy). Untuk memungkinkan adanya partisipasi aktif dari seluruh lapisan rakyat, disusunlah suatu sistem pemilihan bertingkat yang berdasarkan pada sistem distrik. Seluruh Pakistan dibagi dalam 80.000 distrik pemilihan kecil (40.000 di Pakistan Barat dan 40.000 di Pakistan Timur) yang hanya mencakup kira-kira 1000 penduduk. Maka, setiap orang dapat memilih seorang kepercayaannya sebagai wakil distriknya. 80.000 wakil distrik ini yang dinamakan sebagai basic democrats bertindak sebagai pemilih dalam suatu majelis pemilihan (electoral college) yang berwenang untuk memilih presiden beserta kira-kira 150 anggota DPR. Oleh karena itu, diharapkan terpilihnya orang-orang yang benar-benar menjadi wakil rakyat dan tersingkirnya para pemimpin partai politik dari arena politik.

Selanjutnya, dalam undang-undang dasar ditetapkan adanya seorang presiden sebagai kepala eksekutif (chief executive) yang tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selama masa jabatan 5 tahun sesuai dengan sistem yang dalam ilmu politik biasa disebut sistem presidensial. Pada bidang legislatif presiden berwenang untuk memveto RUU yang telah diterima oleh DPR. Veto hanya dapat dibatalkan apabila RUU diajukan kepada sidang dan kemudian diterima kembali oleh 2/3 dari jumlah anggotanya. Apabila presiden menolak pembatalan veto, maka masalah tersebut dapat diajukan kepada para Basic Democrats dalam suatu referendum yang diharapkan mereka lebih bersimpati kepada presiden.

Selain itu, presiden berwenang untuk membubarkan DPR, dalam hal mana presiden harus mengundurkan diri dalam 120 hari dan mengadakam pemilu baru. Secara formal, kekuasaan presiden di Pakistan lebi besar daripada presiden di Amerika Serikat ataupun presiden di Indonesia. Oleh karena itu, pernah ada istilah bahwa pemerintah Pakistan merupakan pemerintah dari presiden, oleh presiden, dan untuk presiden. Pada kenyataannya, siasat Presiden Ayub Khan dalam menyusun suatu orde politik baru dan membimbing emansipasi rakyatnya tidak mendapatkan sasaran dalam pemilihan yang diadakan pada tahun 1962. Adanya sistem Demokrasi Dasar tanpa partai ternyata banyak pemimpin partai lama dipilih kembali, demikian pula DPR baru segera menghidupkan partai-partai lama, bahkan Presiden Ayub Khan menggabungkan diri (Convensionist) pada Muslim League.


Namun pada bidang ekonomi, pembaruan Presiden Ayub Khan lebih berhasil jika dilihat dari GNP nya yang meningkat. Akan tetapi kemakmuran baru hanya dapat dirasakan oleh sekelompok kecil rakyat di Pakistan Barat. Lama-kelamaan timbul oposisi terhadap korupsi yang merajalela dan terhadap sistem Demokrasi Dasar yang dinilai kurang demokratis. Setelah terjadi kerusuhan, pada tahun 1968 Presiden Ayub Khan menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Yahya Khan. Presiden berjanji akan menghidupkan kembali sistem parlementer dan mengadakan pemilu akhir tahun 1970. Namun, faktanya 2 partai terbesar yakni Partai Rakyat di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional di Pakistan Timur tidak dapat mencapai basis yang cukup kuat untuk merundingkan suatu undang-undang dasar baru, sehingga Jenderal Yahya Khan sekali lagi mengambil alih pimpinan negara. Akhirnya, pada tahun 1971, Pakistan terpecah menjadi dua negara, yakni Pakistan dan Bangladesh.



Daftar Pustaka:
- Khalid bin Sayyid, The Political System of Pakistan (Lahore: Oxford University Press, 1967)

Tuesday, January 29, 2019

Kelompok Abu Sayyaf

Al Harakat Al Islamiyya merupakan nama lain dari Abu Sayyaf Group. Kelompok militan Muslim garis keras ini memiliki basis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao. Pihak Angkatan Bersenjata Filipina selalu menyebut bahwa pemimpin kelompok tersebut adalah Khadaffi Janjalani. Kelak pihak militer juga mengatakan bahwa kelompok Abu Sayyaf akan memperluas jaringannya ke Malaysia dan Indonesia.

Kelompok Abu Sayyaf dibentuk pada tahun 1991 oleh seorang uztads alumni Timur Tengah, yakni Abdul Rajak Abubakar Janjalani. Pada awalnya, mereka hanya terdiri dari 30 anggota inti yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara Islam. Mereka menamakan diri dengan nama Al Harakat Al Islamiyya. Namun, kemudian lebih dikenal publik dengan sebutan Abu Sayyaf (Sang Pembawa Pedang).

Abdul Rajak tidak mengajarkan para pengikutnya untuk membenci Kristen. Merekan hanya saja tidak suka dengan cara golongan Kristen memerintah Filipina. Misalnya, hari besar Kristen merupakan hari libur sedangkan pada hari besar Islam, Muslim tetap harus bersekolah ataupun bekerja. Gagasan Abdul Rajak bagi umat Islam dan Kristen Mindanao adalah agar dapat hidup berdampingan secara damai.

Konom, Abdul Rajak merupakan pemimpin yang egaliter. Kisah-kisah pendiri kelompok Abu Sayyaf memiliki kemiripan cerita Robin Hood yang "mendermakan hasil rampokan bagi kaum miskin". Suatu saat, kelompok tersebut mengirim surat ancaman ke perusahaan listrik dan air minum supaya menurunkan tarif yang mencekik rakyat.

Abdul Rajak memiliki keinginan untuk menolong orang-orang yang tertindas. Kelompoknya pernah membagi-bagikan uang hasil tebusan sandra dan menyumbangkan kambing, ayam, serta motor untuk perahu bagi penduduk. Itulah alasan, Abdul Rajak dan juga para pengikutnya mendapatkan banyak sekali dukungan, khususnya dari warga desa.

Oleh instruktur dari Afganistan dan Suriah, mereka dilatih dengan menggunakan senjata M-16, M-14, dan 60mm mortar. Sejak awal, kelompok Abu Sayyaf mencari nafkah sehari-hari untuk hidup dan juga membeli persenjataan dengan menggunakan metode menculik serta memalak para pengusaha, bahkan guru sekalipun. Mereka tidak segan-segan membunuh apabila korbannya tidak mau menyerahkan uang.

Posisi mereka juga tergolong kuat karena mendapat dukungan dari beberapa politisi, misalnya Gubernur Basilian Muhammad Wahab Akbar. Masyarakat bahkan juga memberikan dukungan kepada mereka karena sering membagikan hasil tebusannya. Saat masyarakat meminta motorboat, kelompok Abu Sayyaf memberinya. Di daerah Kota Lantawan, karena begitu simpatik, masyarakat bahkan bersedia menyembunyikan persenjataan mereka. Itulah sebabnya militer tidak dapat menemukan lokasi klandestin. Sebagai imbalan, kelompok Abbu Sayyaf menolong kesulitan ekonomi masyarakat sehari-hari. Apabila tidak dipatuhi, maka mereka akan menyabotase dan bahkan tidak segan-segan untuk membunuh.

Jumlah anggota kelompok Abu Sayyaf pernah berkembang hingga mencapai 4 ribu orang pada tahun 2000. Kelompok ini membiayai operasinya dengan memanfaatkan uang tebusan operasi penculikan dan juga jasa perlindungan dari pengusaha serta politisi lokal. Kelompok ini bahkan mengutip uang dari para guru sebesar 50 peso tiap bulan. Pada saat itu, pembunuhan tidak boleh seenaknya dilakukan, melainkan harus melalui keputusan organisasi. Namun, ketika Abdul Rajak digantikan olej Khadaffi Janjalani, adik Abdul Rajak, lantaran Abdul Rajak tewas tertembak, kekerasan gerilyawan Abu Sayyaf cenderung tidak terkontrol. "Kiblat" kelompok Abu Sayyaf mengalami perubahan setelah Abdul Rajak tewas terkena peluru militer Filipina pada tahun 1998. Khadaffi Janjalani langsung menaikkan setoran para guru yang semula 50 peso menjadi 200 peso.

Abu Sayyaf mendapatkan supply senjata dari para serdadu pemerintah Filipina. Senjata-senjata tersebut diselundupkan di truk-truk tentara dengan ditutupi terpal dan tandan pisang. Ada juga informasi yang menyebutkan bahwa kelompok Abu Sayyaf juga dimanfaatkan pihak intelijen Filipina. Setidaknya, begitu kata Muslimin Sema, Wali Kota Cotabato, sebuah daerah di Mindanao.

Abu Sayyaf dahulu didukung oleh militer untuk mendiskreditkan Moro National Liberation Front (MNLF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Namun, tindakan tersebut kemudian justru malah menyulitkan pemerintah Filipina. Akibat datangnya uang tebusan atau permainan politisi lokal dan oknum militer Filipina, peralatan gerilyawan Abu Sayyaf bertambah canggih. Kapal patroli Angkatan Laut Filipina, misalnya, tidak dapat mendeteksi kehadiran speedboat gerilyawan Abu Sayyaf di rawa-rawa hutan mangrove.

ENGLISH PHRASES

YOUTUBE   ENGLISH PHRASES  no one said it was to be going easy.  tidak ada yang mengatakan itu akan berjalan mudah.  that wasn't the re...