Sunday, February 3, 2019

Keterlibatan Gereja Sebagai Institusi

Gereja sebagai institusi tentu mencakup struktur dan keanggotaan yang melingkupi seluruh yang tergabung di dalamnya. Seperti ungkapan teolog von Balthasar, yang menjadi pertanyaannya bukan menyangkut "apa" tetapi "siapa" itu Gereja? Gereja memiliki pemahaman diri sebagai "umat Allah". Artinya, Gereja merupakan kumpulan orang-orang percaya akan Allah yakni Allah yang secara nyata menyatakan penyelamatan-Nya dalam Yesus Kristus.Di sana terdapat aspek institusional atau dalam istilah sosial disebut juga sebagai "subjek historis". Dalam pengertian tersebut berbicara tentang Gereja sebagai institusi tanpa mereduksi seluruh jati diri Gereja yang sekaligus melampaui institusinya (bahasa teologis: misteri) yaitu aspek kehadiran Ilahi di dalamnya.

Sebagai institusi, Gereja menemukan diri berada dalam dunia. Ia mengemban tugas yang mengalir dari imannya untuk mengabarkan kabar sukacita (Injil) kepada semua manusia. Gereja sebagai institusi menyadari identitasnya secara perlahan dan semakin jelas terlihat dalam sejarah keterlibatannya dalam dunia politik. Kematangan pemahaman diri dalam hubungan atau relasi dengan dunia sosial politik ditegaskan seperti misalnya pada Konsili Vatikan II. Di sana ditegaskan bahwa misi utama yang diberikan Yesus Kristus kepada Gereja bukanlah dalam tatanan sosial, politik, atau ekonomi. Misi Gereja pada hakikatnya adalah pada tatanan rohani. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa Gereja acuh terhadap masalah sosial politik, tetapi menunjuk pada perspektif dasar Gereja yang bersifat rohani. Misi tersebut berupa penginjilan bagi pelayanan umat manusia.

Dalam praktiknya, penginjilan, evangelisasi, atau pewartaan tersebut akhirnya terwujud dalam "pelayanan kasih". Gereja menjadi bentuk pelayanan kasih kepada manusia. Tak mengherankan apabila Paus Paulus VI memberi penegasan bahwa praktik pelayanan kasih dalam keterlibatan dalam sosial politik menjadi aspek mendasar misi Gereja. Sadar akan identitas diri dan panggilannya, Gereja memahami bahwa medan politik bukanlah suatu wilayah yang berada di luar kehidupannya. Gereja selalu berada dalam dunia, dalam relasinya dengan manusia lainnya. Maka dari itu, kehidupan sosial politik adalah suatu dimensi mendasar dari Gereja yang hadir di dunia secara historis.

Gereja dalam sejarah pemahaman diri tersebut semakin menyadari bahwa misinya dalam masyarakat bukanlah untuk melayani dirinya sendiri. Gereja tidak hadir dalam dunia untuk melayani dirinya sendiri yang tertuju pada kepentingannya sendiri. Kehadiran Gereja dalam masyarakat mengemban tujuan dasar kasih yang terarah pada manusia dan di luar dirinya. Oleh karena itu, keterlibatannya dalam situasi sosial politik bukanlah untuk mempromosikan dirinya atau merebut kekusaan bagi kelompoknya tetapi tertuju pada pelayanan kasih.

Salah satu perkembangan penting dalam refleksi keterkaitan antara Gereja dan politik terungkap dala Konsili Vatikan II, khusunya dalam dokumennya Gaudium et Spes yang baru saja disinggung. Di sana dipaparkan refleksi tentang martabat manusia dan pentingnya keterlibatan politik. Para uskup dari seluruh dunia, dalam dokumen tersebut, berusaha menempatkan Gereja dalam dunia pada zamannya. Tugas Gereja dalam lingkup tersebut adalah mempertahankan martabat manusia serta menolak rezim politik yang membelenggu kebebasan sipil ataupun kebebasan dalam beragama. Dokumen resmi tersebut membeberkan pula secara mendalam hakikat dan tujuan politik yang berpusat pada "kebaikan umum" dalam konteks suatu masyarakat yang plural.

Gereja secara institusional melalui hierarki dan kaum religius terlibat dalam kehidupan sosial politik atas motivasi dan tujuan yang berbeda dengan keterlibatan tokoh politik atau partai politik. Keterlibatannya dilakukan secara tidak langsung dan lebih termotivasi oleh visi moral dan spiritual tentang manusia. Dalam visi tersebut, manusia dipahami secara utuh, baik dalam dimensi pribadi maupun dimensi sosial. Melalui keterlibatannya, Gereja memberikan kriteria penilaian, menyodorkan nilai-nilai mendasar dan visi tentang manusia. Semua dilakukan dalam rangka membangun masyarakat manusia dan kebaikan bersama.

Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa sebagai individu, imam atau pemimpin-pemimpin hierarkis Gereja memiliki hak untuk memilih dan hak untuk mempunyai pandangan pribadi terhadap masalah politik di tempat ia berada. Namun, sebagai public figur yang mewakili Gereja sebagai institusi, pemimpin Gereja memiliki kewajiban secara moral melepaskan hak sipil tersebut demi pelayanan Injil. Ia mewakili Gereja institusional yang tidak dapat mereduksi diri sebagai wakil dari salah satu ideologi atau partai politik. Paus Benediktus XVI melanjutkan pemikiran tersebut dengan menegaskan bahwa pemimpin Gereja dan Gereja sebagai institusi tidak dapat dan tidak boleh mengambil alih perjuangan politik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil. Ia tidak dapat mengambil alih tugas negara. Namun? Gereja dan para pemimpinnya juga tidak dapat berdiam diri menjadi penonton dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan. Gereja perlu terliba dalam perdebatan publik dan mendorong ke arah tumbuhnya kekuatan-kekuatan rohani yang melandasi pembangunan suatu masyarakat yang adil.


Daftar Pustaka

- Bdk. Diuseppe Colombo, "Missione e figura della chiesa nella società politica," dalam AA.VV., La responsabilità politica della chiesa (Milano: Glossa, 1994), 70-71.
- Bdk. Konsili Vatikan II, GS, no. 42.
- Seruan Apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiande , 1975, no 29-34.
- Bdk. Konsili Vatikan II, GS, no. 73-74.
- Bdk Giovanni Paolo II, Enciclica Centesimus Annus, 5 : AAS 83 (1991) 799.
- Bdk. Ensiklik Deus Caritas Est, no.28.
- Bdk. "II presbito e la società civile" dalam L'Osservatore Romano (29 luglio), 1993.

No comments:

Post a Comment

ENGLISH PHRASES

YOUTUBE   ENGLISH PHRASES  no one said it was to be going easy.  tidak ada yang mengatakan itu akan berjalan mudah.  that wasn't the re...